Bekal Pendidikan Anak

Bismillahirrohmannirohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Halo temen-temen semuanya! Happy Ramadhan! Waa.. Gak terasa ya sudah memasuki 10hari terakhir di bulan Ramadhan. Semoga puasa kita semakin sempurna, sholat2 sunnah kita semakin rajin, baca AlQur’an kita semakin rutin. Amiin.. Oh ya, FYI ya.. Beberapa bulan ini, saya memiliki aktivitas dan kesibukan baru, jadi saya belum bisa rutin membuat tulisan seperti waktu-waktu sebelumnya. Mungkin ke depannya nanti, tulisan yang saya buat hanya satu tulisan setiap minggunya. Semoga saja dengan begitu, saya masih bisa tetap rutin menulis,ya.. 🙂

Nah, minggu ini saya akan melanjutkan dari tulisan-tulisan saya yang sebelumnya. Beberapa minggu yang lalu, saya menuliskan tentang bekal yang sebaiknya diberikan kepada anak untuk melindungi anak dari lingkungan yang kurang baik. Seperti yang saya tuliskan pada “Pilih Yang Mana?” dan “Bekal Fisik Anak“. Bekal yang pertama yang bisa diberikan adalah Bekal Fisik Anak. Nah, sekarang saya akan bahas bekal yang kedua yang tidak kalah penting dengan bekal pertama, yaitu Bekal Pendidikan Anak.

Untuk menjelaskan tentang Bekal Pendidikan ini, saya awali dengan sebuah hadits,ya..

“Seseorang yang mendidik anaknya itu lebih baik daripada bersedekah satu sha’.” (HR. At Tirmidzi)

Nah, satu sha’ itu sendiri yang saya tahu adalah sebesar empat mud. Sedangkan satu mud adalah sekitar 675 gram. Jadi, satu sha’ adalah 4×675 gram. (Mungkin ada teman-teman yang lebih paham, mohon penjelasannya,ya.. :))

Di hadits yang lain mengatakan,

“Seorang ayah tidak pernah memberi kepada anaknya sesuatu yang lebih baik daripada adab yang mulia.” (HR. At Tirmidzi)

Jadi, kalau kita bisa mengambil kesimpulan dari kedua hadits tersebut, maka pemberian atau bekal terbaik kepada anak adalah pendidikan yang salah satunya atau sebaiknya ialah adab yang mulia. Dalam hal ini, saya semakin setuju bila orangtua tidak hanya memberikan pendidikan berupa penjelasan, tetapi juga berupa tauladan. Seperti yang pernah terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Yang sudah pernah saya ceritakan pada tulisan saya sebelumnya di artikel, “Kacamata Ali bin Abi Thalib“. Bagi yang belum baca, bisa intip kesana dulu,ya.. Jadi saya tidak perlu cerita lagi. 😀

Kisah tersebut adalah salah satu contoh bagaimana mengajarkan anak untuk berperilaku dan berkata jujur. Yaitu dengan memberikan keteladanan pada anak (orangtua juga berperilaku dan berkata jujur).

Selain itu dalam sebuah hadits, Ibnu Abbas ra. Berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ajarlah, permudahlah, dan jangan persulit! Gembirakanlah dan jangan takut-takuti! Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah berdiam diri!” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Hadits ini menjelaskan bagaimana cara orangtua memberikan pendidikan kepada anaknya. Selain memberikan tauladan, orangtua juga harus memudahkan anaknya dalam belajar dan mendapatkan sebuah pendidikan dalam hal apapun. Seperti, memberikan fasilitas belajar yang baik, tempat belajar (sekolah) yang baik, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada anak untuk belajar, juga memberikan suatu penjelasan yang dapat diterima oleh pikiran anak sesuai usianya. Sehingga anak akan lebih mudah memahami sebuah ilmu.

belajar

Dalam hadits tersebut juga dikatakan, bahwa jangan menakut-nakuti anak. Seperti yang terjadi pada beberapa orangtua saat ini. “Hayoo.. Cepet makan. Kalo’ gak makan nanti ada hantu dateng loh,ya..”. Atau, “Eh,eh,nak.. Diem,nak.. Jangan nangis,cup cup.. Loh.. Lihat, ada harimau.. Haduu.. Takut.. Makanya jangan nangis, biar harimaunya gak kesini..” Dan contoh yang lain-lainnya. Kalau menurut saya, baiknya anak diberikan penjelasan yang benar. Mengapa ia tidak boleh menangis, mengapa ia harus makan, dan lain sebagainya. Jangan remehkan mereka dengan pemikiran, “Halah.. Anak kecil kan belum ngerti apa-apa.. Dikasih penjelasan juga gak akan paham”. Nah! Menurut saya justru sebaliknya. Anak kecil itu sangat cerdas. Dengan kita memberikan penjelasan yang benar, maka lambat laun mereka akan bisa menerima penjelasan tersebut dengan baik.

Untuk poin yang terakhir dalam hadits tersebut, sepertinya saya sudah pernah bahas dalam tulisan saya yang berjudul, “La Taghdhab!“. Yang belum sempet baca, bisa dilirik sebentar kesana,ya.. Heheheh 😀

Jadi, untuk melindungi anak dari pengaruh lingkungan yang kurang baik, orangtua bisa memberikan bekal berupa ilmu atau pendidikan dan juga bekal fisik untuk anak. Selain itu, serahkan semuanya kepada yang sepenuhnya memiliki anak kita (baca:orangtua), yaitu Allah SWT.

Okeii.. Sampai disini dulu tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat walaupun sedikit. Mari kita sharing dan berbagi bersama. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together. 🙂

 

Still and Always Learn, @Q_Qee

LA TAGHDHAB !

Bismillahirrohmannirrohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Selamat berhari Minggu! Bagi teman-teman yang setiap harinya memiliki rutinitas bekerja di kantor, pasti hari Minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Karena di hari Minggu bisa terbebas dari urusan kantor, bisa me-refresh-kan sejenak otak yang sudah lelah dalam beberapa hari ke belakang, bisa berkumpul bersama keluarga, bermain dengan putra-putri (bagi yang sudah berkeluarga), bahkan ada yang menjadikan hari Minggu sebagai hari “balas dendam” untuk tidur seharian. Hehehe.. Tapi, dengan itu semua, yuk kita sempatkan waktu untuk tetap mengisi otak dengan hal-hal yang positif, salah satunya dengan membaca artikel saya hari ini. Hhehehe…

Sebenernya, untuk pembahasan ini saya sudah akan memposting di minggu kemarin. Tapi karena minggu kemarin saya harus memposting sebuah artikel yang saya ikutkan dalam sebuah kontes menulis, maka saya tunda menjadi minggu ini. Ya sudah, kita mulai saja…

Saya awali dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab yang sudah tidak asing ditelinga kita. “LA TAHZAN”. Yap! Dalam bahasa Indonesia artinya Jangan Bersedih. Kata tersebut sudah sangat familiar sekali. Karena sudah semakin banyak buku-buku yang membahas tentang La Tahzan atau Jangan Bersedih. Nah, di tulisan saya kali ini saya akan perkenalkan kata baru selain La Tahzan, yaitu LA TAGHDHAB! Yang dalam bahasa kita artinya Jangan Marah.

Perkataan ini saya ambil dari sebuah Hadits Riwayat Bukhari bahwa ada seorang laki-laki yang meminta pesan kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, berpesanlah kepadaku.” Kemudian Rasul menjawab, “La taghdhab!” Laki-laki tersebut kemudian bertanya berulang-ulang, tetapi Rasulullah SAW tetap berpesan denga hal yang sama, “La taghdhab!”

Artinya, begitu pentingnya pesan tersebut sampai Rasulullah SAW mengulanginya berkali-kali dan begitu pentingnya kita menahan marah terhadap apapun dan siapapun, tidak terkecuali kepada seorang anak. Rasulullah SAW suatu ketika pernah didatangi oleh seorang anak muda dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya berzina.”

Mendengar itu, orang-orang yang ada di sekitar langsung marah dan menumpahkan kemarahannya dengan menghampiri dan memaki, “Celaka engkau! Celaka engkau!”

Sedangkan Rasulullah SAW kemudian mendekati anak muda tersebut dan duduk di sampingnya. Rasulullah SAW bertanya, “ Apakah engkau ingin hal itu (zina) terjadi pada ibumu?”

Anak muda tersebut menjawab, “Tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”

Rasulullah SAW menanggapi, “ Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka. Apakah engkau ingin hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?”

Anak muda itu menjawab, “Tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”

Rasulullah SAW menanggapi, “ Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada saudara-saudari mereka.”

Rasulullah SAW kemudian kembali bertanya, “Apakah engkau ingin hal itu terjadi pada saudara perempuan bapakmu?”

Anak muda itu kembali menjawab, “Tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”

Rasulullah SAW menanggapi, “ Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada saudara perempuan bapak mereka. Apakah engkau ingin hal itu terjadi pada saudara perempuan ibumu?”

Anak muda itu memberi jawaban yang sama, “Tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”

Rasulullah SAW menanggapi, “ Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada saudara perempuan ibu mereka.”

Kemudian setelah itu, Rasulullah SAW memegang dada anak muda tersebut sambil berkata, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.”

Setelah peristiwa tersebut, anak muda tadi menjadi orang yang arif dan bahkan menjadi sangat membenci perzinahan.

Nah. NNah. Nah. Kisah tersebut adalah contoh bagaimana harus bersikap kepada seorang anak. Entah itu balita, remaja, atau bahkan dewasa. Kita diharuskan tenang. Tidak marah. Karena saya masih suka miris melihat seorang ibu atau ayah memarahi anaknya dengan marah. Walaupun itu dilakukan dengan nada yang pelan. Karena nada yang pelan, belum tentu tidak marah. Begitu pun dengan nada yang tinggi, itu juga belum tentu nada kemarahan, bisa jadi itu adalah nada ketegasan.

la taghdhab

Intinya adalah, menasihati atau berkata apapun pada anak dalam kondisi marah. Bila kita (baca:orangtua) dalam kondisi marah, maka menjauhlah terlebih dahulu dari anak. Pada saat saya memberikan seminar, ada seorang ibu yang bertanya dengan pertanyaan, “Apa yang harus dilakukan ketika orangtua pulang dari kerja dalam kondisi lelah dan kemudian anak membuat ulah sehingga membuat orangtua marah?” Pertanyaan ini pun dapat terjawab melalui tulisan saya kali ini. Yaitu dengan menghindar atau menjauh dari anak terlebih dahulu sampai kondisi orangtua sudah tidak marah. Mungkin bisa bersih diri terlebih dahulu, mandi, dan lain sebagainya yang bisa membuat perasaan atau mood orangtua menjadi membaik. Setelah itu barulah mendekat kepada anak.

Karena tidak sedikit orangtua yang justru menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalan. Misalnya, ayah sedang banyak pikiran tentang kantornya. Dan begitu sampai di rumah, melihat anaknya yang tidak sengaja menumpahkan air putih di lantai, ayah pun langsung marah dengan kemarahan yang besar. Nah, berbekal dari kisah Rasulullah SAW di atas, semoga kita bisa sama-sama terus belajar untuk menahan kemarahan dalam kondisi apapun dan kepada siapapun. Saat Ali bin Abi Thalib berperang dan akan membunuh seorang musuh yang meludahinya di saat perang, Ali bin Abi Thalib kemudian mengurungkan niatnya untuk mengangkat pedang ke arah musuh tersebut. Karena Ali bin Abi Thalib sadar, bahwa saat itu beliau dalam kondisi marah karena diludahi.

Oke… sekian tulisan dari saya buat minggu ini, ya… semoga bermanfaat. La Taghdhab dan Keep Calm yaa… Happy Reading and Let’s Learn Together.

Still and Always Learn, @Q_Qee