Perlukah Memiliki Pendidikan Tinggi untuk Menjadi Seorang Ibu?

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Memang tidak cukup hanya sekedar niatan. Selama ini saya berniat untuk kembali menulis. Kembali menghidupkan blog yang sudah lama redup. Tapi selalu berhenti pada niatan. Dan itu tidak terjadi hanya satu atau dua kali saja. Setelah berniat tak ada kelanjutan, karena rasa malas yang begitu besar. Jangan ditiru ya…

Dan hari ini, alhamdulillah saya berhasil mengalahkan rasa malas itu. Dan… Happ!!! Inilah tulisan itu. Yang sedang teman-teman baca semua. Semoga ada kebaikan yang bisa diambil dari tulisan ini walaupun sedikit ya.

Nah, tulisan perdana saya setelah melalui tidur yang sangat panjang ini diawali dengan sebuah judul yang sangat panjang pula. “Perlukah memiliki pendidikan tinggi untuk menjadi seorang ibu?” Boleh loh, teman-teman jawab dulu pertanyaan tadi sebelum lanjut membaca. Hehehe… Kira-kira menurut teman-teman perlu gak ya?

“Aaahh.. Gak usah sekolah tinggi-tinggi, toh nanti akhirnya di rumah juga ngurus rumah dan anak.”

“Ngapain serius-serius belajar, toh nanti lulus ilmunya gak kepake` setelah nikah.”

“Mending belajar masak, jahit, beberes rumah, cuci-cuci.. Kan emang itu nanti yang kepake setelah nikah.”

Beberapa kalimat klise yang sering kita dengar itu memang tidak semuanya salah. Sebagai perempuan, kita memang dipaksa harus bisa memasak, beberes rumah, mencuci, dan melakukan urusan rumah lainnya. Walaupun di jaman sekarang ini banyak juga jasa yang menawarkan untuk melakukan tugas-tugas rumah tersebut. Nah, padahal aktivitas-aktivitas tersebut bukan sekedar aktivitas rutin biasa loh. Terutama untuk para istri dan ibu. Aktivitas tersebut adalah ladang pahala yang besar. Seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada putri tercintanya Fatimah Az Zahra dalam 10 nasihat atau wasiat untuk putrinya tersebut.

  1. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya kelak Allah tetapkan baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang diadonnya dan juga Allah akan melebur kejelekan serta meningkatkan derajatnya.

  2. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Allah akan menjadikan antara neraka dan dirinya tujuh tabir pemisah.

  3. Wahai Fatimah! Sesungguhnya seorang yang meminyaki rambut anak-anaknya lalu menyisirnya dan kemudian mencuci pakaiannya maka Allah akan tetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang.

(Nasihat-nasihat yang lainnya bisa teman-teman cari sendiri ya.. Saya hanya mencantumkan yang berkaitan dengan pembahasan kali ini).

Ada begitu banyak kebaikan dan keberkahan yang didapat dari aktivitas rutin tersebut kan. Akan terasa berbeda apabila kita melakukan aktivitas tersebut dengan niat dan semangat untuk mendapatkan kebaikan dan keberkahan tersebut. Setuju kan ya?

Sebelum kita lanjut, ada sebuah kalimat yang cukup menarik bagi saya dan ingin saya tampilkan disini.

WhatsApp Image 2018-10-10 at 12.52.19

Kalau saya sih Yess ya dengan kalimat ini. Hehehe… Karena ada syair Arab yang artinya “Ibu adalah Madrasah Pertama dan Utama Bagi Anak”. Dan seorang anak akan melakukan apa yang sering dilihatnya (Children See, Children Do). Sehingga, apabila ibu memberikan contoh atau teladan yang baik kepada anaknya, maka anak pun akan menjadi seorang yang baik nantinya. Dan apabila ibu memberikan pembelajaran dan bimbingan yang baik kepada anaknya, maka anak pun akan menjadi generasi yang baik pula nantinya.

Oleh karena itu, untuk dapat memberikan yang terbaik kepada anak, seorang ibu pasti membutuhkan cara atau ilmu yang harus dikuasai. Disinilah letak pentingnya pendidikan seorang ibu. Makanya saya setuju sekali dengan kalimat yang diucapkan Mbak Dian Sastrowardoyo tersebut. Tapi kemudian, pasti ada beberapa teman-teman yang bertanya-tanya, “Bukankah ilmu yang didapat saat kuliah sangat berbeda dengan ilmu yang dibutuhkan untuk mendidik anak?” Secara teknis, YA! Terlebih mungkin untuk beberapa jurusan kuliah seperti Jurusan Teknik, Keilmuan, dan lain sebagainya. Tetapi, dengan kita terus belajar dan menambah ilmu serta wawasan, maka pola pikir kita pun akan ikut terbentuk. Nah inilah yang nantinya bermanfaat saat kita mendidik anak.

“Lalu, apakah pendidikan tinggi tersebut hanya bisa didapatkan dalam sebuah pendidikan formal?”

Untuk pertanyaan tersebut, jawaban saya pribadi, TIDAK. Karena berpendidikan tidak harus belajar di sebuah pendidikan formal. Tetapi kita hanya perlu belajar dimana saja dan kapan saja. Karena belum tentu juga seseorang yang berpendidikan tinggi dalam sebuah pendidikan formal, mampu mendidik anaknya dengan baik.

Karena setelah berkuliah tinggi kita pun tetap harus mencari ilmu seputar parenting (ilmu pengasuhan anak) agar kita bisa meningkatkan kualitas peran kita sebagai seorang ibu. Bisa dengan cara bergabung dengan komunitas-komunitas positif baik online maupun offline yang memberikan ilmu-ilmu seputar hal-hal tersebut yang sudah banyak bermunculan sekarang ini. Komunitas seperti apakah contohnya? Pertanyaan ini akan terjawab ditulisan saya selanjutnya ya! Atau teman-teman bisa cari sendiri, tinggal searching di internet pasti ketemu deh! Okee.. Selamat mencari-cari komunitas yang sesuai dengan kebutuhan teman-teman ya… dan selamat belajar. Happy Reading and Let`s Learn Together. 🙂

 

Ibu Profesional,

.

@qeenurulmakkiyah (instagram)

.

.

.

sumber bacaan :

http://www.isdaryanto.com/nasihat-rasulullah-kepada-fatimah-az-zahra

Bekerja atau Ibu Rumah Tangga ?

Bismillahirrohmannirohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Minal aidin wal faizin,yaa.. Mumpung masih dalam suasana Hari Raya nih.. Walaupun di kota-kota besar, saat ini sudah mulai sepi dan mulai hilang suasana lebarannya. Tapi, di beberapa kota justru sebaliknya. Lebaran H+ sekian ini justru lebih rame, mereka menamakannya Lebaran Ketupat. Yaitu, saatnya mereka masak ketupat, opor, dan teman-temannya. :D. Nah, sambil menikmati ketupat dan yang lainnya, saya akan berbagi sedikit pengalaman yang saya alami selama libur hari Raya ini.

minal

Hhmm.. Sebenernya bukan saya yang mengalami, tetapi saya hanya mendengarkan beberapa pengalaman keluarga, saudara, dan teman-teman mengenai mendidik anak. Hehehh .. Teteepp seputar parenting,ya..

Selama liburan kemarin, saya bertemu beberapa wanita yang telah memiliki anak. Mereka sangat beragam. Ada yang sejak memiliki anak mereka memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, ada yang justru karena memiliki anak mereka mencari pekerjaan, ada yang tetap bekerja dengan menitipkan anak pada orangtuanya, ada yang justru tidak mau menitipkan anaknya pada siapapun apalagi menitipkan kepada orangtuanya sendiri (karena tidak mau merepotkan orangtuanya), dan lain sebagainya.

Saat saya mendengarkan cerita-cerita itu, saya pun semakin menyadari bahwa setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Dan sebenernya keputusan dan pemikiran mereka pun tidak salah. Karena mereka memiliki alasan yang baik dan berada pada kondisi yang berbeda pula. Seperti halnya wanita yang tetap memutuskan bekerja dan meninggalkan anaknya. Mereka mengambil keputusan itu karena kondisi perekonomian mereka lah yang menuntutnya untuk bekerja membantu suaminya. Tapi bagi wanita yang justru tidak mau bekerja saat memiliki anak, mereka mengambil keputusan itu karena mereka ingin mendidik dan merawat anak mereka sendiri sesuai dengan kodrat seorang wanita, seorang ibu yaitu mengasuh dan memberikan pendidikan terbaik pada anak.

download

Dari pemikiran-pemikiran tersebut, saya pun tertarik dan akhirnya mencari tahu, bagaimana sebenarnya Islam mengatur hal tersebut. Saya mulai mencari dari beberapa buku dan informasi. Akhirnya saya pun mendapatkan sebuah pemikiran dari informasi-informasi yang saya dapatkan. Nahh,, bagi teman-teman yang lebih mengetahui tentang hal ini, saya tunggu sharingnya,yaa..

Kalau dari pemikiran saya, dalam Islam ada beberapa wanita yang sukses dalam bekerja tapi juga baik dalam mendidik anak,yaitu Bunda Khadijah, istri Rasulullah SAW. Hhmm.. Keren banget emang ya bunda Khadijah ini. Beliau sukses dalam berdagang, tapi juga sukses dalam mendidik anak sehingga putra-putrinya menjadi anak yang sholih dan sholihah. Selain itu, dalam surat An Naml ayat 23, yang artinya

“Aku dapati seorang perempuan menjadi raja mereka dan dia dikaruniai dari tiap-tiap sesuatu dan dia mempunyai suatu singgasana yang besar”.

Dalam ayat ini, perempuan tersebut adalah Ratu Balqis yang sukses dalam karir politiknya. Jadi, tidaklah haram bagi seorang wanita untuk bekerja atau mencari nafkah. Asalkaann…

Naah, ini dia.. Ada syaratnya ternyata. Apa itu? Dalam Islampun sudah diatur. Yaitu, seperti yang ada di dalam hadits yang berbunyi.

“….. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumah, seorang wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)

Kalau melihat dari hadits tersebut, maka kewajiban seorang wanita adalah memimpin rumah dan anak suaminya. Artinya, mengurus segala urusan rumah tangga. Mengatur rumah, menjaga anak, menjaga rumah, dan sebagainya. Berarti, apabila seorang wanita bekerja, maka kewajibannya mengurus rumah harus terselesaikan terlebih dahulu. Karena bagaimana pun, yang wajib diselesaikan dulu, baru kemudian bisa melakukan yang lainnya. Tapi, bila seorang wanita merasa tidak bisa membagi waktu antara urusan rumah dan pekerjaan, maka sebaiknya fokuslah terlebih dahulu kepada hal yang wajib. 🙂

Yaapps,, sampai disini dulu tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat walaupun sedikit. Sekali lagi saya ucapkan Minal Aidin wal Faizin ya.. Mohon maaf lahir batin. Karena saya tidak bisa bahkan belum pernah bertemu langsung dengan teman-teman yang membaca artikel saya, maka saya meminta maafnya melalui blog ini saja, ya… Semoga tetap bisa dimaafkan semua salah ya.. Maaf apabila ada kalimat atau kata yang kurang berkenan selama ini. Semoga kita semua juga bisa bertemu dengan Ramadhan dan Idul Fitri tahun depan. AMIN. Mari kita sharing dan berbagi bersama. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together. 🙂

Still and Always Learn, @Q_Qee

Bekal Pendidikan Anak

Bismillahirrohmannirohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Halo temen-temen semuanya! Happy Ramadhan! Waa.. Gak terasa ya sudah memasuki 10hari terakhir di bulan Ramadhan. Semoga puasa kita semakin sempurna, sholat2 sunnah kita semakin rajin, baca AlQur’an kita semakin rutin. Amiin.. Oh ya, FYI ya.. Beberapa bulan ini, saya memiliki aktivitas dan kesibukan baru, jadi saya belum bisa rutin membuat tulisan seperti waktu-waktu sebelumnya. Mungkin ke depannya nanti, tulisan yang saya buat hanya satu tulisan setiap minggunya. Semoga saja dengan begitu, saya masih bisa tetap rutin menulis,ya.. 🙂

Nah, minggu ini saya akan melanjutkan dari tulisan-tulisan saya yang sebelumnya. Beberapa minggu yang lalu, saya menuliskan tentang bekal yang sebaiknya diberikan kepada anak untuk melindungi anak dari lingkungan yang kurang baik. Seperti yang saya tuliskan pada “Pilih Yang Mana?” dan “Bekal Fisik Anak“. Bekal yang pertama yang bisa diberikan adalah Bekal Fisik Anak. Nah, sekarang saya akan bahas bekal yang kedua yang tidak kalah penting dengan bekal pertama, yaitu Bekal Pendidikan Anak.

Untuk menjelaskan tentang Bekal Pendidikan ini, saya awali dengan sebuah hadits,ya..

“Seseorang yang mendidik anaknya itu lebih baik daripada bersedekah satu sha’.” (HR. At Tirmidzi)

Nah, satu sha’ itu sendiri yang saya tahu adalah sebesar empat mud. Sedangkan satu mud adalah sekitar 675 gram. Jadi, satu sha’ adalah 4×675 gram. (Mungkin ada teman-teman yang lebih paham, mohon penjelasannya,ya.. :))

Di hadits yang lain mengatakan,

“Seorang ayah tidak pernah memberi kepada anaknya sesuatu yang lebih baik daripada adab yang mulia.” (HR. At Tirmidzi)

Jadi, kalau kita bisa mengambil kesimpulan dari kedua hadits tersebut, maka pemberian atau bekal terbaik kepada anak adalah pendidikan yang salah satunya atau sebaiknya ialah adab yang mulia. Dalam hal ini, saya semakin setuju bila orangtua tidak hanya memberikan pendidikan berupa penjelasan, tetapi juga berupa tauladan. Seperti yang pernah terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Yang sudah pernah saya ceritakan pada tulisan saya sebelumnya di artikel, “Kacamata Ali bin Abi Thalib“. Bagi yang belum baca, bisa intip kesana dulu,ya.. Jadi saya tidak perlu cerita lagi. 😀

Kisah tersebut adalah salah satu contoh bagaimana mengajarkan anak untuk berperilaku dan berkata jujur. Yaitu dengan memberikan keteladanan pada anak (orangtua juga berperilaku dan berkata jujur).

Selain itu dalam sebuah hadits, Ibnu Abbas ra. Berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ajarlah, permudahlah, dan jangan persulit! Gembirakanlah dan jangan takut-takuti! Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah berdiam diri!” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Hadits ini menjelaskan bagaimana cara orangtua memberikan pendidikan kepada anaknya. Selain memberikan tauladan, orangtua juga harus memudahkan anaknya dalam belajar dan mendapatkan sebuah pendidikan dalam hal apapun. Seperti, memberikan fasilitas belajar yang baik, tempat belajar (sekolah) yang baik, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada anak untuk belajar, juga memberikan suatu penjelasan yang dapat diterima oleh pikiran anak sesuai usianya. Sehingga anak akan lebih mudah memahami sebuah ilmu.

belajar

Dalam hadits tersebut juga dikatakan, bahwa jangan menakut-nakuti anak. Seperti yang terjadi pada beberapa orangtua saat ini. “Hayoo.. Cepet makan. Kalo’ gak makan nanti ada hantu dateng loh,ya..”. Atau, “Eh,eh,nak.. Diem,nak.. Jangan nangis,cup cup.. Loh.. Lihat, ada harimau.. Haduu.. Takut.. Makanya jangan nangis, biar harimaunya gak kesini..” Dan contoh yang lain-lainnya. Kalau menurut saya, baiknya anak diberikan penjelasan yang benar. Mengapa ia tidak boleh menangis, mengapa ia harus makan, dan lain sebagainya. Jangan remehkan mereka dengan pemikiran, “Halah.. Anak kecil kan belum ngerti apa-apa.. Dikasih penjelasan juga gak akan paham”. Nah! Menurut saya justru sebaliknya. Anak kecil itu sangat cerdas. Dengan kita memberikan penjelasan yang benar, maka lambat laun mereka akan bisa menerima penjelasan tersebut dengan baik.

Untuk poin yang terakhir dalam hadits tersebut, sepertinya saya sudah pernah bahas dalam tulisan saya yang berjudul, “La Taghdhab!“. Yang belum sempet baca, bisa dilirik sebentar kesana,ya.. Heheheh 😀

Jadi, untuk melindungi anak dari pengaruh lingkungan yang kurang baik, orangtua bisa memberikan bekal berupa ilmu atau pendidikan dan juga bekal fisik untuk anak. Selain itu, serahkan semuanya kepada yang sepenuhnya memiliki anak kita (baca:orangtua), yaitu Allah SWT.

Okeii.. Sampai disini dulu tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat walaupun sedikit. Mari kita sharing dan berbagi bersama. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together. 🙂

 

Still and Always Learn, @Q_Qee

Duduk sama Rendah, Berdiri sama Tinggi

Bismillahirrohmannirohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Haloo semuanya, long time no see… 🙂 mau tanya nih, sudah berapa gelas air putih yang kita minum hari ini? Hayoo.. Kalo’ masih 1 gelas atau bahkan belum sama sekali, segera gih ambil air putih dan diminum dulu sebelum melanjutkan membaca artikel saya kali ini. Hhmm.. Gak usah dibahas deh kayaknya kenapa dan bagaimana pentingnya air putih untuk tubuh kita. Karena pasti semua orang sudah tahu,kan. Yang terpenting, kita jangan sampai termasuk ke dalam golongan orang yang pura-pura tidak tahu atau acuh terhadap pentingnya minum air putih. Jadinya, gak cinta badan sendiri,deh.

Okee, kali ini sebelum saya akan membahas tentang parenting, saya akan bertanya lagi satu pertanyaan. “Bagaimana rasanya bila kita berbicara dengan orang saat kita dalam posisi duduk, sedangkan orang tersebut posisinya berdiri?” Gak enak,kan? Gak nyaman banget pasti. Nah! Kalo’ sepakat dengan hal tersebut, maka temen-temen pasti juga akan sepakat dengan judul pada artikel saya ini, “Duduk sama Rendah, Berdiri sama Tinggi.”
So, apa sih hubungannya dengan bahasan parenting kali ini? Kita simak dulu kisah berikut yaa..

imagesCAKJ2D33

Pada saat itu adalah perang badar dan beberapa sahabat Rasulullah saw. berhasil menangkap seorang anak pengembala unta milik orang Quraisy. Para sahabat mencoba bertanya berapa jumlah pasukan Quraisy kepada anak tersebut. Tetapi tidak dijawab dengan baik olehnya yang kemudian anak tersebut dibawa langsung menemui Rasulullah saw. Kemudian, saat bertemu, Rasulullah saw mengajukan pertanyaan yang berbeda. “Berapa unta yang disembelih untuk mereka (pasukan Quraisy) ?”. Anak tersebut pun menjawab, “Antara sembilan hingga sepuluh orang.” Rasulullah kemudian mengambil kesimpulan, “Kalau begitu jumlah mereka antara sembilan ratus hingga seribu orang.”

Rasulullah saw cerdas banget, kan? Beliau paham bahwa seorang anak kecil belum mengetahui hitungan sampai ratusan bahkan ribuan. Sehingga Rasulullah saw menyesuaikan hal tersebut dengan mengajukan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban dalam hitungan satuan atau puluhan. Nah, itulah yang saya maksudkan dengan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Untuk menghadapi anak, sebagai orangtua harus menyesuaikan dengan kemampuan anak pada saat itu. Apabila anak berusia kurang dari 2 tahun, maka berilah ia lingkungan, mainan, dan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami olehnya. Apabila anak berusia kurang dari 11 tahun, maka berilah lingkungan dan bahasa yang sesuai dengannya. Sehingga anak lebih merasa dihargai, bukan digurui. Sayangnya, dewasa ini yang banyak terjadi justru sebaliknya. Saat anak tidak bisa menuruti apa kata orangtua, orangtua pun langsung memarahi anak. Bukannya mencoba melakukan introspeksi terlebih dulu apakah bahasa yang kita (baca:orangtua) berikan sudah dapat dimengerti atau belum oleh anak.

imagesCA8J0CO5

Begitu pula secara fisik. Dalam arti, pada saat berbicara kepada seorang anak, usahakanlah untuk menyesuaikan dengan tinggi badannya. Sehingga ia merasa lebih nyaman dan merasa berteman dengan seseorang yang berbicara dengannya. Untuk anak yang masih kecil, kita (orang dewasa) bisa dengan berjongkong untuk merendahkan badan kita atau duduk disebelahnya. Tidak dengan posisi yang kurang nyaman seperti mereka duduk, sedangkan kita berdiri. Itu membuat mereka (anak-anak) tidak nyaman dan akan cenderung tertutup dengan orang yang diajak bicara. Kita pun seperti itu kan sekarang? Kita akan merasa tidak nyaman bila lawan bicara kita berdiri sedangkan kita dalam posisi duduk. Ada perasaan seperti diperintah, digurui, atau yang lainnya.

Okeee.. Karena sudah sangat malam, sampai disini dulu ya tulisan saya kali ini. Selamat beristirahat. dan semoga tulisan-tulisan saya tetap dapat memberi manfaat buat temen-temen semuanya. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together. 🙂

 

 

Still and Alway Learn, @Q_Qee

“Surga vs Neraka” Bagi Anak

Bismillahirrohmannirohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Hai, hai, hai. Selamat Malam semuanyaa !! Bagi yang baru sampai rumah setelah seharian melakukan aktivitas di luar, selamat berkumpul kembali bersama keluarga di rumah, apalagi ini weekend. Selamat weekend, ya… Sambil kumpul bareng keluarga, sambil membaca artikel saya kali ini, ya… Hehehe.. Oh iya. Sempetin baca surat Al Waqi’ah di malam hari juga,ya…

Dari Ibnu Mas’ud r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Waqiah setiap malam, maka dia tidak akan ditimpa kesusahan atau kemiskinan selama-lamanya.” (HR. Al- Baihaqi)

Eh. Saya mau cerita,nih.. Beberapa hari yang lalu saya menemukan sebuah kejadian yang sebenarnya sangat sering saya temui. Tapi kejadian itu tetap saja membuat hati saya tergelitik. Hhmm.. Jadi, waktu saya pergi ke sebuah Mall, saya melihat ada seorang ibu yang sedang menggandeng anaknya yang berusia sekitar 6-7 tahun. Si anak ini termasuk anak cowok yang aktif. Karena saat berjalan-jalan di mall dia selalu berlarian ke sana kemari. Saat ibunya sedang melihat-lihat barang, si jagoan ini berlari-lari. Melihat itu, ibunya pun langsung berkata, “Hei, jangan lari-larian. Diem sini aja. Kalo’ lari-larian mama giniin nih.” Sambil si ibu memperagakan tangannya seperti sedang mencubit. Tidak lama kemudian, si jagoan itu pun duduk dan diam. Kemudian, mungkin karena bosan menunggu ibunya berbelanja, si jagoan ini memegang-megang barang-barang yang ada di sekelilingnya. Ibunya pun berkata kembali. “Awas. Jangan pegang-pegang. Klo’ barangnya jatuh, trus pecah, uang saku sekolahmu yang mama pake’ buat bayar itu. Biar kamu gak dapat uang jajan.” Mendengar itu, anaknya pun terdiam kembali.

punishment

Cerita yang biasa saja dan sangat sering kita jumpai. Ya kan? Tapi setiap saya menjumpai kejadian serupa seperti itu, rasanya saya ingin menyapa ibu tersebut dan mengingatkan. Karena tanpa sadar, anak selalu ditakut-takuti dengan peringatan dan hukuman. Bukan diberi iming2 pujian atau hadiah. Meskipun terkadang ada ibu atau ayah yang memberikan iming2 hadiah tapi tidak sedikit juga yang akhirnya lupa memberikan “reward” tersebut pada sang anak.

Yap! Reward. Mungkin para orangtua sudah tahu tentang Reward and Punishment. Dua hal yang berbeda, tetapi sering kita mendengarnya dengan bersamaan. Secara tidak langsung itu menuntun kita untuk selalu bertindak adil. Tidak hanya selalu memberi reward saat melakukan sesuatu dengan benar, tapi juga memberikan punishment bila melakukan tindakan yang kurang tepat. Pun begitu juga sebaliknya. Hal itu sudah pula diberitahukan dan selalu diajarkan kepada kita (umat Muslim) melalui Al Qur’an. Allah SWT sendirilah yang mengajarkan langsung. Kita bisa melihat banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang memasangkan neraka dengan surga.

“(Bukan demikian), yang benar: barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al Baqarah :81)

“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al Baqarah :82)

Di surat yang lainnya pun juga Allah SWT berfirman tentang surga dan neraka sebagai “reward dan punishment”.

“Inilah dua golongan (golongan mu’min dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.” (Q.S. Al Hajj :19)

“Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka).” (Q.S. Al Hajj :20)

“Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi.” (Q.S. Al Hajj :21)

“Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasailah azab yang membakar ini”.” (Q.S. Al Hajj :22)

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” (Q.S. Al Hajj :23)

“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (Q.S. Al Hajj :24)

Biar kita semakin yakin dan mantep nih, saya beri contoh surat yang lainnya.

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh keni’matan.” (Q.S. Al Infithar :13)

“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Q.S. Al Infithar :14)

Nah. Itu artinya, Allah SWT menggunakan sistem reward-punishment juga kepada kita. Dan itu sangat adil dan jelas. Bila benar, maka akan mendapatkan surga. Bila salah, maka akan mendapatkan neraka. Bila melakukan perbuatan dosa, maka akan mendapatkan punishment yaitu masuk neraka. Tapi bila melakukan amalan sholeh, maka akan mendapatkan reward surga. Bila masuk dalam golongan orang mukmin, maka akan dapat surga. Bila masuk golongan kafir, maka akan dapat hukuman siksa dalam neraka. Yang terakhir nih, bila berbakti kepada orangtua atau orang lain, maka akan mendapat reward surga, tapi bila kita durhaka, maka punishmentnya kita menjadi penghuni neraka. Adil, kan? Dan jelas, kan? Dan Allah SWT tidak pernah bohong dan ingkar terhadap janjinya.

reward

Itu jugalah yang bisa kita terapkan pada anak-anak kita (baca:orangtua). Orang tua harus membiasakan anak-anaknya untuk mengetahui reward dan punishment dengan jelas dan tegas. Sehingga anak pun akan belajar arti konsekuensi dari apa yang telah ia lakukan. Tapi, orang tua pun juga harus adil dan menepati setiap janji yang telah disepakati. Jadi, anak juga akan belajar arti pentingnya sebuah janji. Reward, tidak harus berupa barang atau materi. Tetapi juga bisa dapat berupa pujian kepada anak. Itupun anak sudah senang dan dapat meningkatkan percaya dirinya. Punishment, juga tidak harus berupa hukuman fisik. Tetapi bisa berupa peringatan. Sesuai dengan tingkatan hukuman seperti yang sudah pernah saya bahas pada artikel sebelumnya. Bagi yang belum baca, bisa lirik sebentar ke artikel “Tingkatan Hukuman” ya.. 🙂

Nah, sebenernya semua ilmu tentang parenting yang baik semuanya sudah terdapat dan diajarkan di dalam Al Qur’an. Tinggal bagaimana orangtua bisa mempraktekkannya kepada anak-anak. Tidak mudah memang. Karena butuh kesabaran, ketelatenan, ketegasan, dan kecerdasan. Tapi saya katakan lagi disini, tidak mudah bukan berarti tidak bisa, kan? Menurut saya, kalau setiap hal kita pelajari terus menerus secara continue, maka akhirnya pun akan menjadi mudah dan bisa. Itu juga sudah pernah saya bahas dalam artikel “Level Otak“. Because Life to Learn, Learn to Life. 🙂

Oke.. Sampai disini dulu ya tulisan saya kali ini. Semoga kita tidak bosan-bosan untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri. Dan semoga tulisan-tulisan saya tetap dapat memberi manfaat buat temen-temen semuanya. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together.

 

 

Still and Alway Learn, @Q_Qee

Level Otak

Bismillahirrohmannirrohim. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Halo teman-teman semua? Bagaimana kalian di minggu ini? Ada cerita apa dalam hidup kalian di minggu ini? Kalau saya, alhmdulillah nih beberapa hari yang lalu saya dapat kabar kalau beberapa tulisan saya sudah mulai bisa dicetak dan menjadi sebuah buku bersama dengan beberapa penulis lainnya. Judul bukunya adalah “Garis Waktu”. Kalau temen-temen penasaran, bisa segera beli bukunya, ya.. Hhehe.. Promosi dikit gak papa lahh.. Ini nih, cover buku saya nanti..

garis waktu

Tapi kalau temen-temen gak penasaran dengan buku saya, bisa tetep beli buku saya loh untuk melatih kegemaran membaca kalian. Intinya ya harus beli buku saya. Hehehehe.. Maksa banget,yaa.. 😀

Kita kembali ke bahasan parenting,ya.. Minggu ini, saya akan membahas mengenai level otak. Level otak disini yang saya maksud bukan mengenai tingkat intelegensi seseorang. Walaupun memang, otak (kecerdasan) seseorang memiliki sebuah tingkatan atau level. Diambil dari beberapa teori dari beberapa tokoh psikologi yang mengklasifikasikan tingkat kecerdasan (IQ) yaitu Stanford-Binet, Wechsler, dan Lewis Terman maka tingkat kecerdasan tersebut bisa terbagi seperti ini :

1. 70 – 79 : Tingkat IQ rendah atau keterbelakangan mental.

2.80 – 90 : Tingkat IQ rendah yang masih dalam kategori normal (Dull Normal)

3. 91 – 110 : Tingkat IQ normal atau rata-rata

4. 111 – 120 : Tingkat IQ tinggi dalam kategori normal (Bright Normal)

5. 120 – 130 : Tingkat IQ superior

6. 131 atau lebih : Tingkat IQ sangat superior atau jenius.

Untuk IQ atau kecerdasan intelektual di bawah 70 sampai dengan 0 sudah termasuk ke dalam kelompok manusia seperti imbecile, idiot, dan lain sebagainya. Hhmm.. Itu bila level otak dilihat secara psikologis. Tapi disini saya akan lebih membahas mengenai bagaimana tahapan otak untuk memperoleh informasi sehingga kemudian manusia dapat mendapatkan dan menyimpan informasi tersebut. Sebelumnya saya mau tanya nih… Pada saat kita baru terlahir dahulu, otak kita dengan otak seorang ilmuwan Einstein kira-kira sama atau beda? Menurut temen-temen gimana? Jawabannya adalah SAMA. Lalu, apa yang membuat seorang Einstein menjadi sangat pintar dan kita hanya menjadi seorang yang pintar saja? Heheh… Jawabannya adalah karena banyaknya informasi yang berhasil disimpan oleh seorang Einstein lebih banyak daripada kita.

otak

Dalam otak kita ada yang namanya neuron. Dimana neuron ini akan muncul di dalam otak setiap kita mendapatkan informasi baru. Tapi, kemunculan pertamanya ini sangat tipis. Nah, kalo’ kemudian informasi ini di review atau di ulang kembali, maka neuron yang sama tersebut akan semakin tebal. Semakin sering diulang, maka akan semakin tebal. Bila neuron tersebut tebal, maka disaat kita membutuhkan informasi tersebut, kita akan lebih mudah untuk me-recall atau memanggil informasi tersebut. Misal nih ya, dulu waktu kecil kita belum tahu bahwa 1+1=2. Tapi kemudian informasi ini kita ulang-ulang terus sampai akhirnya sekarang, tanpa berpikir pun kita sudah tahu bahwa 1+1=2. Karena apa? Ya karena neuron di dalam otak kita tentang informasi tersebut sudah sangat tebal. Jadi sangat mudah kita memanggil informasi ini dari otak kita. Nah, artinya apa? Butuh sebuah tahapan atau level pada kerja otak. Maka, saat kita mendapatkan sebuah informasi dan kemudian saat “ujian” kita gagal untuk mengingatnya, maka jangan dulu kita memvonis diri kita “bodoh”. Karena bisa jadi, “jam terbang” belajar kitalah yang belum tinggi. Nah,loh. Berarti apa yang harus kita lakukan kemudian? Ya diulang lagi belajarnya.

Nah, itu pulalah yang terjadi pada otak anak-anak. Saat pertama kali mendapatkan informasi, anak hanya akan mengingatnya dalam otak beberapa detik saja. Tapi kalau informasi tersebut diulang kembali, maka anak akan semakin mengingatnya. Bila kemudian diulang kembali, maka anak akan semakin dan semakin mengingatnya.

Hal seperti itu sudah diajarkan di dalam Al Qur’an yaitu surat Thaha : 132.

“Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah”.

Kata bersabar disini saya pribadi lebih mengartikan dengan “bersabarlah dan jangan bosan-bosan untuk mengulang-ulangnya”. Misalnya, kalau kita (baca:orangtua) menyuruh anak untuk makan dengan tangan kanan. Perintah pertama kali, mungkin akan langsung dituruti oleh anak. Tapi belum menjadi kebiasaan. Tapi jika setiap kali anak akan makan dan kita (baca:orangtua) selalu mengingatkannya untuk makan dengan tangan kanan, maka lambat laun hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Nah, itulah yang saya maksud disini dengan level otak. Sama halnya dengan kebiasaannya mengerjakan sholat. Harus selalu dilakukan pengulangan, pengulangan, dan pengulangan sampai akhirnya neuron di dalam otaknya semakin tebal dan berhasil menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan.

Kesimpulannya, janganlah terlalu dini memvonis siapapun, terutama anak dalam hal parenting ini. Karena belum tentu anak “tidak bisa”, mungkin saja mereka hanya masih “belum terbiasa”. 🙂

Oke, sampai disini dulu tulisan saya minggu ini,ya. Semoga bermanfaat buat temen-temen semuanya. Dan minta masukan dan sarannya nih, kali aja ada dari tulisan-tulisan saya yang kurang tepat. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together.

 

Still and Always Learn, @Q_Qee

Bagi Erikson

Bismillahirrohmannirrohim. Asaalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Tiba-tiba saya ingat pesan seorang guru terbaik saya. Beliau adalah guru saya saat di SMP juga sekaligus saya anggap sebagai guru kehidupan saya. Karena sampai saat ini, alhamdulillah saya masih bisa menjalin silaturrahim dengan beliau. Karena setelah berkunjung dan bertemu dengan beliau, saya selalu mendapatkan poin-poin penting yang selalu saya garis bawahi, saya bold, dan benar-benar saya ingat dalam pikiran saya. Salah satu yang sederhana adalah, “Usahakan kamu selalu mendapatkan kalimat , “Kamu sekarang beda, ya…” , dari seseorang yang sudah lama tidak bertemu denganmu. Karena itu artinya kamu mengalami perubahan. Jelas dalam hal ini yang diharapkan adalah perubahan yang lebih baik. Karena berarti itu kamu bertumbuh, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, dan terutama kamu menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.” Pesan tersebut selalu saya ingat dalam pikiran saya. Dan setiap ada pertemuan dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu denganku, saya selalu was-was , akankah saya mendapatkan kalimat tersebut (dalam hal positif) atau tidak.

Oke, baiklah. Sekarang kita menuju ke bahasan parenting untuk minggu ini. Selama dua minggu yang lalu saya menuliskan tentang perkembangan manusia menurut beberapa tokoh psikologi. Seperti Freud Berkata dan Kata Piaget. Ya… sambil mengingat-ingat beberapa materi psikologi yang pernah saya dapatkan saat kuliah dulu dan saya juga mencoba membagikan ilmu tersebut kepada temen-temen yang berada di luar bidang psikologi. Kan biar bisa belajar bareng disini. Nah, untuk minggu ini, sekaligus minggu terakhir untuk pembahasan perkembangan manusia menurut para tokoh psikologi, saya akan bahas perkembangan manusia bagi seorang Erikson. Bagi Erikson, perkembangan manusia atau lebih tepatnya beliau mengatakan perkembangan psikososial manusia dikelompokkan ke dalam delapan tahapan. Dimana pada setiap tahap, terdiri dari tugas perkembangan yang khas serta manusia akan dihadapkan pada sebuah krisis yang harus dihadapi. Disini, saya akan mencoba meringkas ke delapan tahap tersebut agar lebih sederhana dan mudah dipahami, ya.. Oke.. Oke…

erikson4

Tahap yang pertama adalah kepercayaan diri dan ketidak percayaan (trus vs mistrust). Tahap yang terjadi di tahun pertama kehidupan manusia ini, dapat dibantu oleh seorang dewasa untuk melaluinya. Dengan cara memberikan sentuhan atau kedekatan berupa menggendong, memeluk, atau mencium. Seperti yang telah diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan pernah saya tuliskan juga dalam Posisi Anak Bagi Orangtua (2).

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga disebutkan hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a., dia berkata, “Pada suatu hari beberapa orang dari penduduk Badui datang kepada Rasulullah SAW dan para sahabat. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah kalian mencium anak-anak kecil kalian?”. “ Para sahabat menjawab, “Ya”. Mereka kemudian berkata lagi, “Akan tetapi, demi Allah, kami tidak mencium anak-anak kami”. Maka Rasulullah SAW menyahut, “Saya khawatir Allah telah mencabut rasa belas kasihan dari hati kalian”.

Kemudian, kita kembali pada tahapan Erikson. Yang kedua adalah otonomi dan rasa malu serta keragu-raguan (autonomy vs shame and doubt). Tahapan ini terjadi di tahun kedua kehidupan manusia. Pada tahapan ini, jika bayi terlalu dibatasi atau dihukum terlalu keras, mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragunya. Maka, baiknya mereka diberi kesempatan untuk melakukan hal baru, bahkan melakukan sebuah kesalahan.

Tahapan selanjutnya terjadi di usia 3-5 tahun, yaitu prakarsa dan rasa bersalah (Initiative vs Guilt). Ketika anak-anak prasekolah menghadapi dunia sosial yang lebih luas, mereka lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang lebih bertujuan untuk mengatasi tantangan tersebut. Dalam tahap ini, mereka pun akan khawatir tidak dapat mengatasi tantangan ini dan kemudian akan timbul rasa bersalah dalam dirinya. Disinilah sangat diperlukan peran orang dewasa untuk selalu memberikan dukungan dan apresiasi kepada anak.

erikson2

Lalu, tekun dan rasa rendah diri (Industry vs Inferiority). Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka mengerahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif sehingga akan menjadikan mereka menjadi seseorang yang rendah diri. Rasulullah SAW pun memberikan teladan dengan mengajak seorang anak untuk berkompetisi lomba lari bersama beliau. Hal tersebut dilakukan untuk menumbuhkan jiwa kompetisi, kepercayaan diri, dan produktif dalam diri seorang anak.

Identitas dan kebingungan identitas (Identity vs Role Confusion). Tahap yang terjadi di usia 10 -20 tahun ini sering disebut dengan usia pencarian jati diri atau identitas. Di tahap usia ini, individu akan mulai mencari bakat, minat, dan keunikan serta keunggulan dari dirinya.

Pada masa awal dewasa, yaitu usia 20-an sampai 30-an, bagi Erikson, seseorang akan berada pada tahap keakraban dan keterkucilan (Intimacy vs Isolation). Di tahap ini, individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan orang lain.

Dilanjutkan dengan bangkit dan stagnant (Generativity vs Stagnation). Di rentang usia 40-an sampai 50-an ini, manusia akan mulai mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna bagi diri sendiri dan terlebih bagi orang lain. Individu akan berlomba-lomba melakukan sebuah aktivitas yang dapat menjadikan seseorang yang mulia. Tapi di sisi lain, individu yang tidak berhasil melalui tahapan ini akan menjadi seseorang yang “mandeg” atau non-produktif pada tahapan usia ini.

Yang terakhir adalah keutuhan dan keputusasaan (Integrity vs Despair). Di sini, seseorang mulai melihat segala peristiwa yang pernah terjadi di masa lalunya dan mulai mengadakan suatu evaluasi terhadap apa yang telah mereka lakukan dengan kehidupan mereka. Pada saat mengevaluasi dari masa lalu itulah, seseorang akan dapat bersifat positif (integrity) atau negatif (despair) terhadap kehidupannya. Dan masa ini terjadi pada usia di atas 60-an.

Dan akhirnya, tulisan ini harus saya akhiri sampai disini. Semoga ilmunya bermanfaat buat temen-temen semuanya, ya… Tulisan-tulisan saya mengenai perkembangan manusia di beberapa artikel ini kebanyakan saya dapatkan dari buku  “Life-Span Development” oleh John W. Santrock. Oke,,.. Sampai jumpa minggu depan. Hehehe. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together.

Still and Always Learn, @Q_Qee

Freud Berkata

Bismilahirrohmannirrohim. Assalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Selamat pagi menjelang siang buat temen-temen semuanya. Waktu yang pas buat DhuGem, nih. Hehehee… Maksudnya, Sholat Dhuha dengan Gembira. Manfaat sholat Dhuha sangat banyak loh.. Salah satunya adalah membuka pintu rejeki. Dan saya merasakan sendiri manfaat tersebut dalam kehidupan saya. Gak susah juga kok untuk melakukannya. Cukup meluangkan waktu beberapa menit disela-sela aktifitas kita sehari-hari untuk sholat minimal 2 rakaat. Kalo` sedang punya waktu yang lebih luang, bisa menambah jumlah rakaat tersebut dan melakukan salam di setiap 2 rakaat. Coba deh dan rasakan kedahsyatan dari sholat Dhuha sendiri. Pasti ketagihan. Hehehee… 😀

Hari ini, saya akan sedikit membahas berdasarkan teori perkembangan psikologi secara lebih sederhana. Teori ini saya ambil dari seseorang yang bernama Sigmund Freud. Menurut beliau, tahapan perkembangan setiap manusia itu terbagi menjadi lima tahap. Nah, apa saja tahapan itu, langsung aja deh yaa kita bahas bersama.

freud

Yang pertama adalah Oral Stage yang berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan dan pada masa tersebut sebuah kenikmatan berpusat di sekitar mulut. Dalam artian, pernahkan melihat bayi yang selalu ingin memasukkan segala macam benda ke dalam mulutnya? Nah, seperti itulah tahapan ini. Kita tidak bisa menyalahkan anak yang selalu memasukkan mainan ke dalam mulutnya. Kita pun tidak bisa menjauhkan mainan dari anak usia tersebut. Karena bagi mereka, mainan adalah hidup mereka. Rasulullah SAW pun mengakui betapa pentingnya sebuah mainan untuk anak-anak. Beliau pun pernah membelikan beberapa mainan untuk Husain, cucunya. Mainannya pun bermacam-macam. Mulai dari benda yang mati sampai benda yang hidup seperti anak anjing. Yang kemudian, setelah itu Jibril berkata kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kami, golongan malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada patung, anjing, dan orang yang sedang berjunub.” (HR. Abu Ya`la)

Nah, kita kembali ke tahapan Freud. Tahapan yang kedua adalahAnal Stage berlangsung antara usia 1 – 3 tahun yang menurut Freud, kenikmatan terbesar seseorang muncul dari segala hal yang berhubungan dengan fungsi pengeluaran dari pencernaan (anus). Menurutnya, di usia 1 – 3 tahun anak akan giat melatih otot-otot alat pengeluaran pencernaannya untuk mengurangi tekanan dan ketegangan. Mungkin tahapan ini pula yang kemudian memunculkan toilet training di usia tersebut. Mengajarkan anak untuk mengontrol alat pengeluaran pencernaannya. Sehingga akhirnya bisa menahan pipisnya disaat belum berada di kamar mandi dan bisa mengontrolnya saat mereka (baca:anak) tertidur sehingga tidak mengompol, dan sebagainya.

Selanjutnya Phallic Stage yang terjadi di usia 3 sampai 6 tahun. Selama tahap ini, seseorang (anak) akan cenderung memunculkan perilaku yang mirip seperti orangtua sesama jenisnya. Anak perempuan akan meniru perilaku ibunya yang sedang memasak di dapur, meniru ibunya yang sedang berdandan di depan kaca, dan sebagainya. Sedangkan perilaku ayah akan mulai ditiru (modeling) oleh anak laki-laki yang berusaha untuk menjaga ibunya, memberikan rasa aman kepada ibunya, dan sebagainya. Itulah kemudian yang disebut dengan Oedipus Complex.

Lalu ada tahapan yang bernama Latency Stagesebuah tahapan yang berlangsung antara usia 6 tahun sampai menginjak masa pubertas seseorang. Yang biasanya terjadi pada tahapan ini adalah anak akan lebih mengembangkan keterampilan sosialnya dan intelektual mereka. Itulah mengapa, kita lebih sering melihat anak di usia ini ikut bergabung dalam sebuah percakapan. Apapun itu percakapannya, mereka akan tertarik, mendengar, dan mulai merekamnya di dalam otak. Jadi, berhati-hatilah terhadap perkataan yang kita bicarakan di sekitar mereka.

Dan kemudian Genital Stage. Ini adalah tahapan kelima dan tahapan terakhir menurut Freud yang berlangsung mulai masa pubertas seseorang dan seterusnya. Pada tahapan ini, seseorang akan lebih senang untuk mencari kesenangan di luar keluarganya. Karena pada tahapan sebelumnya mereka sudah mulai mengenal dunia selain keluarganya, maka di tahapan ini mereka akan mulai memilih mana dunia yang lebih bisa memberikannya kesenangan. Nah, tahapan inilah yang nantinya akan menentukan seseorang akan lebih nyaman berada di dalam keluarganya atau bahkan mereka lebih nyaman berada di luar lingkungan keluarganya. Jadi, di sini pulalah orangtua harus dengan cerdas menciptakan sebuah atmosfir positif dalam keluarga sehingga anak akan lebih memilih senang di dalam lingkungan keluarganya. Mungkin bisa dimulai dengan mengangkat sebuah kalimat, “Baiti Jannati”, yaitu Rumahku Surgaku. Dengan menanamkan kalimat tersebut kepada anak, maka apapun yang telah dilakukan anak di lingkungan luar keluarganya, maka mereka akan tetap kembali kepada keluarganya karena merasa dunia atau lingkungan yang paling menyenangkan adalah keluarganya atau rumahnya.

Terima kasih buat temen-temen yang sudah membaca tulisan saya minggu ini, semoga bermanfaat, ya… Last, Happy Reading and Let’s Learn Together.

Still and Always Learn, @Q_Qee

Parenting Cerdas

Bismillahirrohmannirrohim. Assalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Apa kabar? DAHSYAT! Apa kabar? DAHSYAT! Apa kabar ? DAHSYAT! Hehehe… yang pernah ikut seminar pasti gak asing dengan sapaan yang tadi. Sebenernya kalimat sapaan itu bagus banget loh.. Karena bikin kita jadi semangat. Ya gak? Oke… biar semakin semangat, hari ini kita akan bahas tentang Parenting Cerdas.

Sudah saatnya nih, bagi para orangtua, apalagi orangtua modern sekarang, mengasuh anak harus dengan ilmu. Harus dengan cara yang cerdas dan efektif. Karena perkembangan teknologi dan dunia yang makin maju sekaligus ngeri bahkan anak-anakpun bisa memanfaatkan teknologi tersebut dengan bebasnya. Jadi, para orangtua harus berhati-hati juga nih terhadap hal tersebut. Ya udah deh, yaa… Kita mulai aja untuk poin-poin Parenting Cerdas ini.

Poin yang pertama adalah MINDSET. Mindset atau pola pikir disini maksudnya adalah pola pikir orangtua. Orangtua harus memiliki pola pikir, setidaknya anggapan bahwa anak beda dengan orang dewasa. Bahkan anak bukanlah miniatur dari orang dewasa. Karena anak memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Jadi, masukkanlah ke dalam mindset para orangtua bahwa anak adalah UNIK. Dan setiap anak memiliki keunikan tersendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan anak yang lainnya. Maka dari itu, sebisa mungkin secara sengaja maupun tidak, orangtua baiknya tidak membandingkan anak satu dengan anak yang lainnya. Sampai kapanpun. Mana ada sih orang yang suka dibanding-bandingkan ? Nah, begitu pula dengan anak-anak.

Nah, poin yang kedua ini sebenarnya sudah pernah saya bahas di Pasangan Ganda Campuran. Yang belum sempat baca, segera meluncur ke sana ya.. Di sini saya akan mengingatkan kembali. Bahwa mengasuh anak adalah tugas kedua orangtua. Bukan salah satunya. Bukan dalam artian ayah hanya mencari uang untuk biaya anak dan ibu yang mengasuh serta memperhatikan perkembangan anak secara penuh. Tapi Itu semua dilakukan oleh keduanya. Sehingga ibu dan ayah membentuk team yang solid untuk mengasuh dan mendidik anak. Memang, ada sebuah sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.”

Tapi, dalam sabda tersebut tidak disebutkan bahwa ayah tidak boleh ikut membantu mengurus dan mendidik anak. Ya kan? Itu karena memang anak membutuhkan kedua sosok orangtua dalam segala hal. Bukan salah satunya. Bila keadaannya memang mengharuskan seorang ibu harus ikut mencari nafkah untuk biaya anaknya pun itu diperbolehkan.

parenting

Poin ketiga yaitu adalah Modeling. Beberapa orangtua mungkin sudah sering mendengar istilah ini. Menurut saya, cara paling efektif dalam parenting adalah dengan modeling. Pada saat orangtua menginginkan anaknya selalu berkata jujur kepada orangtua, maka orangtua pun juga harus selalu berkata jujur pada anak (qaulan sadiddan). Tapi bila orangtua berperilaku atau berkata kasar pada orang lain dihadapan anak, maka kemungkinan besar anakpun akan berperilaku dan berkata sama seperti orangtuanya tersebut pada orang lain. Karena orangtua adalah role model utama bagi anak. Anak akan merekam apapun yang dilakukan oleh orangtua. Yang ada di pikiran mereka, bila orangtuanya bisa melakukan hal tersebut, maka saya (anak) juga bisa melakukannya.

Poin keempat adalah Labeling. Memangnya cuman barang aja yang ada labelnya (merk) ? Anak juga ada loh.. Hehehe.. Label hampir sama seperti mindset. Tapi yang ini harus dikatakan pada si anak. Para orangtua sekarang, kebanyakan lebih sering memberikan label yang negatif daripada yang positif pada anak. Saat anak mulai aktif dan berperilaku kurang menyenangkan, orangtua langsung berkata, “Emang anak nakal ya kamu ini…” , “Bandel banget si, nakk…” , dan lain sebagainya. Tapi saat anak dapat berperilaku baik, orangtua lupa memberikan label positif pada anak. Nah, disinilah yang perlu ada perbaikan sedikit. Coba mulai munculkan label positif pada anak setiap anak dapat berperilaku yang baik. Seperti kata pintar, baik, cantik, ganteng, sholih, dan sebagainya. Lalu sedikit demi sedikit label negatif mulai dikurangi atau diganti dengan label yang lain. Seperti nakal atau bandel diganti dengan aktif atau kreatif. Dan sebagainya. Karena label-label tersebut akan tertanam pada otak anak dan anak akan berperilaku sesuai dengan label tersebut.

Selanjutnya, yaitu poin kelima adalah selalu berikan pilihan pada anak. Bukan pertanyaan. Misalnya, anak sangat susah untuk diajak mandi. Coba berikan pilihan padanya. “Adek mau dimandiin ibu atau ayah?” Atau saat anak sulit disuruh berhenti menonton televisi. Bisa dengan kalimat pilihan, “Kakak matiin tv nya 5 menit lagi atau 10 menit lagi?” Beda dengan pertanyaan, “Kakak mau gak matiin tv nya terus pergi tidur?” dengan pertanyaan tersebut pasti anak akan menjawab, “Tidak mau.” Atau “Nanti, bunda..” , dan lain sebagainya.

Naahhh… untuk poin keenam dan selanjutnya.. seperti biasanya.. kita lanjutkan minggu depan, ya.. biar temen-temen gak capek bacanya. Dan biar otak pun lebih mudah mengingatnya. Okee,,.. terima kasih ya buat temen-temen yang sudah baca. Semoga bermanfaat buat kita semua. See you next week. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together. 🙂

Still and Always Learn, @Q_Qee

Kacamata Ali bin Abi Thalib (3)

Bismillahirrohmannirrohim. Assalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…

Selamat Datang Hari Senin ! Kalo` orang lain mengatakan “I Hate Monday”, saya justru sebaliknya, “I Love Monday”. Bahkan temen-temen Muslim lainnya pun harusnya juga seperti itu. Karena hari Senin adalah hari spesial bagi umat Islam. Di hari Senin, Rasulullah SAW terlahir ke dunia. Di hari Senin pula, Rasulullah SAW wafat. Di hari Senin, Rasulullah SAW melakukan hijrah. Di hari Senin, kita bisa melakukan puasa sunnah. Di hari Senin juga saatnya kita mengawali minggu untuk menabur kebaikan, menjemput rejeki, sehingga kita bisa memenuhi kebutuhan hidup kita. Maka saya juga yakin, akan ada banyak peristiwa yang terjadi di hari Senin nantinya. Termasuk Senin ini. Amin. 🙂

Artikel kali ini, sesuai janji saya, akan membahas mengenai parenting dari “Kacamata Ali bin Abi Thalib” untuk poin yang terakhir. Setelah sebelumnya saya sudah membahas untuk poin pertama dan kedua, maka poin yang terakhir ini akan menjadi poin yang ketiga. Di poin yang ketiga ini, Ali bin Abi Thalib menyebutnya dengan tahapan roofiquhum. Pada tahapan ini, akan ada dua kemungkinan. Yang pertama orangtua berhasil menjadikan anak sebagai temannya. Atau yang kedua, orangtua justru menjadi musuh bagi anak-anak mereka. Itu semua tergantung pola asuh yang diberikan orangtua kepada anaknya. Tahapan ini mulai anak usia 14 tahun sampai seterusnya.

Di usia ini, anak sudah hampir seperti orang dewasa. Karena lingkungan atau dunia mereka yang semakin luas yang menjadikan wawasan dan pemikiran mereka semakin berkembang. Sehingga di usia ini pun, orangtua tidak bisa dengan “mentah-mentah” memberikan perintah tanpa alasan atau dasar yang jelas. Karena pasti anak akan mulai berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan perintah tersebut. Bukan berarti pada saat mereka di usia sebelumnya belum berpikir, tapi di tahapan ini anak akan menjadi semakin kritis dalam berpikir. Maka dari itu, orangtua harus memberikan pendidikan yang baik agar anak juga memiliki pemikiran dan pemahaman akan sesuatu dengan tepat. Seperti hadits Rasulullah SAW berikut ini.

“Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR. Tirmidzi)

Salah satu pendidikan baik yang harus diberikan pada anak adalah pemahaman pentingnya berbakti kepada kita (baca:orangtua). Karena dengan berbakti kepada orangtua, anak akan mendapatkan kemudahan untuk menjalankan kehidupannya di dunia. Dalam pendidikan ini, orangtua juga harus membantu anak untuk berbakti kepada orangtua. Nah, bagaimana caranya? Ternyata pertanyaan itu sudah dijawab oleh Rasulullah SAW melalui kisah yang satu ini.

Rasulullah SAW suatu ketika berkata kepada para sahabat, “Allah merahmati orangtua yang membantu anaknya berbakti kepadanya.”

Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana caranya membantu untuk berbakti?”

“Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, dan tidak membebaninya serta tidak pula memakinya.”

Nahh, jadi orangtua pun tidak hanya meminta anak untuk berbakti padanya. Tapi orangtua juga membantu anak agar mereka bisa berbakti kepada orangtua. Jadi tidak hanya menuntut, tapi turut mengusahakan dan memberikan pengajaran bagaimana caranya.

anak remaja

Di tahapan usia ini pun, baiknya orangtua menganggap anak sebagai teman. Sehingga apapun keputusan yang akan diberikan untuk anak, didiskusikan terlebih dahulu. Sehingga terjalin komunikasi dua arah. Bukan satu arah saja (perintah). Dengan begitu, anak juga akan merasa nyaman berkomunikasi dengan orangtua. Terpenting, anak tidak sampai menganggap orangtua sebagai orang yang tidak menyenangkan. Yang kemudian anak merasa tidak nyaman dan malas saat bersama orangtua mereka. Na’udzubillah…

Orangtua juga harus berlaku adil kepada anak dalam segala hal. Dalam masalah pemberian pendidikan, kesehatan, kasih sayang, dan lain sebagainya. Adil dalam artian disini memang sangat luas. Yaitu adil sesuai dengan hak yang seharusnya anak dapatkan serta adil antara pemberian kepada anak satu dengan yang lainnya. Seperti sabda Rasulullah melalui hadits.

“Berlaku adillah terhadap anak-anakmu dalam suatu pemberian sebagaimana kamu suka bersikap adil di antara kamu dalam kebaikan dan kasih sayang.” (HR. Thabrani)

Parenting atau pola asuh yang baik adalah dengan memberikan contoh. Apabila menginginkan anak yang mau mendengarkan perintah orangtuanya, maka orangtua memberikan contoh dengan mau mendengarkan keluhan dan keinginan serta harapan anak. Apabila menginginkan anak yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, maka orangtua pun juga memberikan contoh dengan selalu berkata jujur dan adil kepada siapapun.

Okay, alhamdulillah akhirnya kita telah menyelesaikan pembahasan untuk ketiga tahapan pola asuh orangtua berdasarkan kacamata Ali bin Abi Thalib. Semoga bermanfaat buat teman-teman semuanya ya… Terima kasih sudah membaca dan saya tunggu saran-sarannya selalu. Last, Happy Reading and Let’s Learn Together. 🙂

Still and Always Learn, @Q_Qee